Roguelite Jepang yang Punya Hati (Tapi Suka Overthinking)
Ada kalanya sebuah game punya niat mulia tapi dieksekusi sedikit… overthinking. Dan di sinilah Towa and the Guardians of the Sacred Tree berdiri — game roguelite Jepang terbaru dari Bandai Namco Entertainment dan developer Brownies Inc. yang sukses bikin gamer bilang “Aduh, cakep banget nih!”, sebelum akhirnya patah hati karena sistemnya ribet minta ampun.
Game ini muncul di radar banyak gamer pas Tokyo Game Show 2025, waktu Bandai Namco pamer trailer bergaya seni Jepang klasik tapi pakai mekanik action top-down seperti Hades. Namun bukan cuma soal “tebas dan dash”, Towa and the Guardians mencoba bercerita lebih dalam: tentang waktu, pengorbanan, dan rasa kehilangan — dengan bumbu gameplay roguelite yang menguji kesabaran.
Plotnya berpusat pada Towa, sosok setengah dewi yang jadi pelindung Desa Shinju. Setelah dewa kegelapan bernama Magatsu bangkit dan menebar miasma korup yang mengubah dunia, Towa membentuk pasukan spesial bernama Prayer Children, delapan pejuang muda yang bisa menyalurkan kekuatan ilahi. Tapi semua berantakan setelah pertarungan pertama: Magatsu mengutuk mereka dengan putaran waktu, memisahkan para guardians ke dimensi berbeda. Tiap kali Towa mencoba memperbaiki keadaan, waktu ikut rusak — menciptakan dunia penuh anomali temporal.
Dari plot aja kelihatan kalau game ini ambisius banget. Tapi Brownies mungkin terlalu semangat ngebawain lore-nya. Sebelum lo sempat mukul musuh pertama, lo bakal disuguhi sekitar 15–20 menit cutscene dan dialog penuh istilah Shinto, mitologi, dan penjelasan timeline alternatif. World-building-nya dalem, tapi juga melelahkan. Buat gamer yang pengen langsung ngelihat aksi, ini semacam tutorial teologis yang bikin kepala muter.
Namun begitu lo nyemplung ke gameplay-nya, Towa bakal nunjukin sisi terbaiknya: dunia yang berdenyut hidup, sistem berpasangan dua karakter yang unik, dan emosi yang benar-benar nyentuh. Ini bukan roguelite biasa; ini game yang bikin lo baper pas harus “mengorbankan” karakter hasil grind berjam-jam demi kemajuan cerita.
Duo Battle System: Seru, Tapi Jari Bisa Kram
Di mata kasual gamer, Towa and the Guardians mungkin kelihatan kayak Children of Morta versi anime, tapi sistemnya jauh lebih kompleks dari yang terlihat. Setiap run, lo akan menurunkan dua karakter: satu sebagai Tsurugi (petarung jarak dekat dengan dua pedang) dan satu lagi sebagai Kagura (penyihir support yang bantu lewat buff dan magic). Lo bisa main solo — ganti karakter secara cepat — atau main bareng partner lewat local co-op.
Dinamika duo ini jadi fondasi utama gameplay. Secara konsep, keren banget karena bikin tiap run berasa kayak duet yang sinkron. Tapi buat soloist, kontrol switching-nya bisa jadi bencana. Kagura sering kena pukul karena casting time-nya panjang dan gak bisa nge-dash pas lagi channeling. Akibatnya, banyak pemain akhirnya biarin dia jadi “AI stuck di belakang” ketimbang ngambil alih kontrol langsung.
Beda sama game roguelite lainnya, rerun di Towa bukan cuma soal mengulang dungeon. Lo bener-bener merasa kehilangan setiap kali menang. Setelah ngalahin boss, lo wajib ngelakuin “Ritual of Rebirth” — sebuah kesepakatan magis yang butuh pengorbanan satu dari dua karakter di party lo. Jadi, tiap kemenangan berarti kehilangan partner permanen.
Brownies pinter banget mainin emosi ini. Sebelum Ritual, Towa menampilkan percakapan singkat antara dua karakter — dari candaan, janji masa kecil, sampai perpisahan lirih di bawah cahaya suci. Scene-scene ini ngebikin tiap run punya bobot emosional. Lo bukan lagi mikir “bisa tamat atau nggak”, tapi “siapa yang harus gue relakan kali ini.” Heartbreaking, tapi juga ngasih kedalaman yang jarang banget muncul di genre roguelite.
Sebagai game action, combat-nya lumayan satisfying. Tsurugi punya respon cepat untuk serangan ringan dan berat, sementara Kagura bisa bantu lewat mantra healing atau serangan area. Ada mekanik weapon durability juga — tiap pedang Tsurugi bisa aus, forcing lo buat switch di tengah pertempuran biar ritmenya tetap hidup. Sayangnya, sistem random buff enhancement di tiap run agak mentok. Buff-nya variatif tapi kurang impactful; misal damage naik dikit tapi dengan risiko HP jadi satu — bukan trade-off yang worth it.
Namun, satu fitur standout adalah blacksmith crafting system. Di sini lo bisa ngerasain atmosfer shokunin Jepang sejati — dari menempanya di api, nyetel bilah, sampai ngukir tanda khusus di gagang pedang. Mini-game ini butuh presisi tapi hasilnya bisa gila banget. Katana buatan lo bisa jadi artefak sakral dengan buff elemen langka. Sayangnya, sistem ini juga bisa bikin burnout kalau lo gagal berkali-kali. Tapi kalau berhasil? Rasanya kayak jadi musashi digital.
Desa Shinju: Tempat Waktu Nggak Pernah Diam
Salah satu elemen paling underrated dari Towa adalah dunia hub-nya, Shinju Village. Ini bukan sekadar zona aman buat upgrade senjata atau beli item. Desa ini tumbuh seiring progress lo, harfiah berubah setiap kali waktu “bergerak”.
Setelah beberapa run, lo bakal sadar bahwa setiap kemenangan dan kekalahan bener-bener ngerubah dunia: anak-anak tumbuh dewasa, toko buka cabang baru, NPC meninggal, sampai arsitektur berubah bentuk. Towa mungkin gak menua, tapi dunianya terus berputar. Setiap kali kembali ke Shinju, nuansanya beda — kadang cerah dengan musik bambu, kadang muram saat kabut hitam turun.
Brownies marketing nggak bohong pas bilang ini bukan roguelite biasa, tapi “roguelite with life progression.” Lo merasakan hasil grind lo bukan cuma di statistik karakter, tapi juga di kehidupan dunia sekitar. Konsep ini bikin Towa terasa intim — kayak lo beneran punya tanggung jawab moral buat nyelamatin dunia yang lo kenal baik.
Sayangnya, area dungeon-nya nggak seambisius itu. Setelah beberapa jam, repetisi mulai terasa. Layout arena cenderung sama, musuh daur ulang, bahkan boss cenderung punya pola serangan identik. Efek perdamaian waktu yang keren itu gagal diimplementasikan penuh ke eksplorasi.
Tapi semua kekurangan itu agak ketutup sama art direction-nya yang luar biasa. Gaya seninya mirip perpaduan antara Okami dan Ni no Kuni — warna pastel lembut, efek cahaya kayak kuas air, dan cutscene bergaya lukisan Jepang kuno. Ditambah lagi semua karakter fully voiced oleh seiyuu-anime besar — bikin Towa lebih hidup secara emosional.
Kesimpulan: Roguelite dengan Perasaan dan Rasa Frustrasi Sekaligus
Towa and the Guardians of the Sacred Tree adalah definisi dari cinta yang rumit. Cantik, sensitif, dan sarat makna — tapi juga cerewet, berat, dan kadang bikin frustrasi. Kalau disederhanakan: ini roguelite untuk mereka yang suka rasa sakit.
Bandai Namco dan Brownies sukses bikin game dengan jiwa Jepang yang kental: tradisional tapi modern, lembut tapi keras. Ceritanya kuat, penuh filosofi dan simbolisme. Tapi dari sisi gameplay, banyak hal yang butuh disesuaikan — terutama pacing dan keseimbangan antara tantangan emosional dan mekanis.
Kalau lo sabar, suka ngebaca dialog panjang, dan senang ngulik build sempurna, Towa bakal jadi pengalaman spiritual yang indah sekaligus menyesakkan. Tapi kalau lo pengen roguelite cepat tanpa drama, siap-siap stres dengan sistemnya yang ribet tapi indah.
Mungkin itu justru niatnya Bandai Namco — bikin lo ngerasain bahwa jadi dewi penjaga waktu bukan cuma soal kekuatan, tapi juga tentang pilihan yang selalu meninggalkan luka.




