Visit Sponsor

Written by 4:46 am NEWS, PC GAMES, REVIEWS

Mohrta Review: Petarung Indie Bergaya Gelap yang Punya Karakter

Mohrta Review

Ada kalanya kita butuh sesuatu yang “nyeleneh” di tengah dominasi fighter AAA yang serba mengilap. Di situlah Mohrta masuk. Dari teaser dan build awal yang beredar, game ini langsung memancing rasa penasaran gamer karena tampilannya yang berani: gelap, surealis, dan anti-mainstream. Mohrta bukan sekadar “game tarung baru,” tapi eksperimen visual dan mekanik yang terasa niat. Dalam Mohrta game review ini, gue bakal membahas kenapa game ini mendadak ramai di linimasa, apa yang bikin konsepnya stand out, dan apakah ia layak masuk daftar game fighting yang perlu kamu ikuti, terutama kalau kamu datang dari komunitas FGC (fighting game community) yang haus hal baru.

Mohrta Review

Yang bikin Mohrta mencuri perhatian duluan jelas adalah art direction. Ketimbang mengikuti arus visual glossy atau anime-bright yang lagi banyak di pasar, Mohrta memilih estetika fantasi gelap: siluet kasar, anatomi karakter yang tak lazim, dan palet warna yang muram tapi tetap readable. Kesan “kultus” ini cocok banget untuk pemain yang pengin pengalaman bertarung yang rasanya “mentah” dan intens. Namun, wajah unik tidak ada artinya tanpa fondasi gameplay yang solid. Dan dari kesan pertama, Mohrta terlihat ingin berada di jalur fighter yang berbasis “ketepatan”—bukan sekadar spam tombol. Timing, jarak, dan tekanan mental terasa jadi kunci. Pertanyaan besarnya: apakah eksekusi mekanik ini sebaik premisnya?

Dari sisi positioning, Mohrta menempati ruang yang lagi jarang disentuh: fighter indie bernuansa gritty yang dikurasi untuk pemain yang suka memecah-pecah sistem sampai detil (frame, jarak aman, tekanan oki, dan sebagainya). Kalau kamu anak lab—tipe yang betah berjam-jam di training mode demi menemukan set-up 50/50 paling “jorok”—Mohrta punya vibe “datang ke sini, ada yang bisa kamu bongkar.” Tapi kalau kamu pemain kasual yang sekadar pengin duel cepat tanpa pusing, Mohrta perlu membuktikan sisi aksesibilitasnya: apakah tutorialnya ramah? Apakah inputnya cukup “bersih” buat stick/pad? Apakah UI frame-data disajikan rapi? Pertanyaan-pertanyaan ini akan jadi penentu apakah Mohrta bisa menyeberang dari game “cult” ke game “community darling.”

Singkatnya, wajahnya yang anti-mainstream bukan gimmick; itu framing untuk sebuah fighter yang ingin berbeda. Tinggal kita lihat, apakah fondasi mekaniknya cukup dalam untuk membuat pemain bertahan lebih dari sekadar minggu perdana.

Mohrta dan Anatomi Petarung Gelap: Mekanik, Roster, dan Rasa Main

Kunci sebuah fighter yang hidup panjang selalu sama: tiga hal—rasa pukulan (game feel), ritme duel, dan ruang kreativitas pemain. Mohrta game review ini mencoba menilai tiga aspek itu dari kesan awal dan praktik terbaik di genre, agar kamu punya bayangan realistis sebelum terjun.

  • Game feel: Pukulan yang “masuk” harus terasa. Bukan cuma efek suara berat, tapi juga reaksi visual—hitstop yang pas, efek kamera yang hemat tapi bertenaga, dan hurtbox yang adil. Mohrta memakai gaya visual yang keras—bayangan pekat, garis tajam—yang membantu setiap hit terasa “berat.” Kalau hitstop-nya dikurasi benar, kamu akan dapat sensasi “del-duk” yang nagih saat counter-hit mendarat.
  • Ritme duel: Di subgenre fighter “ketat,” window parry/just-deflect dan throw-tech yang sempit bisa melahirkan duel saraf. Mohrta tampak memilih jalur ini. Keuntungannya: duel terasa personal dan mindgame jadi inti. Konsekuensinya: learning curve menanjak. Ini bisa menakutkan untuk pemula. Jalan tengahnya? Sediakan preset “assist” opsional (misal, input leniency atau parry buffer) agar pemain baru merasakan “fantasi jago” lebih cepat, tanpa mengorbankan kedalaman untuk veteran.
  • Ruang kreativitas: Di lab, pemain akan mencari loop, route kombo, dan set-up oki (okizeme) yang menekan bangun—apakah Mohrta memberi bahan bakar itu? Sistem meter (satu atau dua bar?), EX/special cancel, dan resource defensif (pushblock, burst, drive/parry) menentukan seberapa liar kreativitas itu. Kalau meter attack/defense didesain simbiotik—misal, parry sukses mengisi resource ofensif—mindgame akan memanas bahkan sebelum round dimulai. Kabar baiknya, Mohrta terlihat mendorong interaksi “berisiko tinggi, imbal hasil tinggi,” yang biasanya melahirkan highlight momen—ramah klip untuk TikTok/shorts.

Roster juga penting, tapi bukan soal angka. Lebih baik 8–12 karakter dengan identitas permainan tegas ketimbang 20 karakter yang numpang lewat. Idealnya, Mohrta menghadirkan arketipe jelas:

  • Bully mid-range dengan normal panjang.
  • Grappler yang memaksa coin-flip di jarak dekat.
  • Rushdown yang agresif dengan corner carry kuat.
  • Zoner dengan trap/proyektil unik.
  • Trickster stance-based yang menipu tempo.

Dengan art direction gelap, siluet setiap karakter harus kebaca. Ini bukan sekadar estetika—ini soal fair play: di scramble, kamu perlu tahu “itu set-up lempar” atau “itu overhead” hanya dari gerak awalnya. Kalau Mohrta berhasil menjaga readability sambil tetap eksperimental, ia memenangkan hal tersulit yang sering jatuh di fighter indie: jelas dimainkan, jelas dilawan.

Soal online, kata kunci satu: rollback netcode. Genre ini hidup-matinya di koneksi. Tanpa rollback yang stabil, semua kedalaman yang dirancang di training room tidak akan terasa di real match. Lobi yang simpel, rating yang adil, rematch cepat, dan region filter sehat adalah hal-hal “membosankan” yang justru krusial. Kalau target Mohrta adalah komunitas yang rajin, ini nonnegotiable.

Akhirnya, tutorial. Guilty Gear Strive dan SF6 memberi teladan: tutorial bukan sekadar “tekan A, lompat.” Tutorial harus mengajarkan konsep—frame advantage, punish, whiff-punish, anti-air—dengan latihan kontekstual. Tantangan combo harus mengarah ke rencana permainan nyata, bukan sekadar “sirkus jari.” Kalau Mohrta memaku bagian ini, ia membuka pintu lebar untuk pemain baru, tanpa mengorbankan gengsi di mata veteran.

Putusan: Calon “Cult Favorite” yang Punya Taji—Asal Konsisten Update

Mohrta punya semua bahan untuk menjadi “cult favorite” 2025: persona visual yang berani, rasa duel yang tampak menuntut tapi memuaskan, dan potensi konten klip yang tinggi (parry terakhir frame, comeback dengan pixel life, atau kombo sudut yang licik). Namun, perjalanan fighter tidak diukur dari minggu pertama. Ia maraton: butuh tambalan (balance patch) yang tepat waktu, peta jalan konten yang transparan (karakter tambahan, stage, mode), dan komunikasi aktif dengan komunitas. Komunitas FGC itu cerewet—dalam arti baik. Mereka akan membedah bug, mengeksploitasi loop, dan mendorong meta. Tugas developer: mengarahkan energi itu agar jadi “growth” bukan “gosong.”

Dari perspektif pemain:

  • Pemula: Kalau kamu baru di fighter, cek apakah Mohrta menyiapkan difficulty ramp yang wajar—training yang menjelaskan konsep, mode misi yang “mengajarkan lewat bermain,” dan online yang tidak langsung melemparmu ke hiu. Ini penentu apakah kamu bertahan.
  • Intermediate: Kamu akan suka jika Mohrta memberi feedback jelas atas keputusanmu: kapan kamu dihukum, kenapa whiff-punish terjadi, dan bagaimana memperbaikinya. Tanpa telemetri/indikator yang informatif, frustrasi cepat datang.
  • Veteran/lab monster: Kamu pengin toolbox—frame-data in-game, record/playback training yang fleksibel (merekam delay wakeup, safefall, DI), dan save state. Kalau ini lengkap, kamu akan tinggal di lab seperti di gym.

Hal yang patut diapresiasi: keberanian Mohrta beda sendiri. Di pasar yang kadang terasa “itu-itu lagi,” Mohrta menawarkan tone yang keras, ritme duel yang meminta fokus, dan estetika yang bukan sekadar kulit, melainkan bahasa desain. Apakah ia sempurna? Tidak ada fighter yang lahir sempurna. Tapi arah awal Mohrta sudah benar: bentuk identitas dulu, baru perluas jangkauan.

Rekomendasi awal gue: layak masuk wishlist untuk siapa pun yang rindu fighter dengan “jiwa.” Jika kamu pemain kasual, tunggu impresi lebih lanjut soal tutorial dan aksesibilitas. Jika kamu anak lab/FGC, ini bisa jadi taman bermain baru. Mohrta game review ini menutup dengan satu catatan penting: jaga ekspektasi di tempat yang sehat. Nilai sejati sebuah fighter muncul setelah 1–3 bulan, saat meta mulai matang dan online stabil. Kalau Mohrta konsisten di sana, kita berpotensi menyaksikan kelahiran IP tarung indie yang benar-benar punya taring.

Dan kalau suatu saat kamu melihat klip parry tiga lapis di timeline, kemungkinan besar itu dari Mohrta. Siapkan pad/stick, siapkan kesabaran, dan—seperti biasa di dunia fighter—siapkan ego. Karena di sini, yang menang bukan yang paling banyak tombol, tapi yang paling jernih kepala.

Visited 4 times, 1 visit(s) today
[mc4wp_form id="5878"]
Close